Dikalangan pengobat tradisional tanah air namanya sudah tak asing lagi. Harap maklum beliau seringkali memberikan pelatihan tanaman obat dari ujung Sumatra hingga Papua. Lembaga tempat Ia bekerja sejak 1978, RS Bethesda , memang mempunyai program pelayanan kesehatan dengan membentuk kader kesehatan desa. Salah satu wujudnya , ya pelatihan tanaman obat.
Tak berlebihan jika Ia ditunjuk sebagai kepala Bidang Pelayanan ketika pemerintah membentuk Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T), kebetulan SP3T Provinsi Yogyakarta dipusatkan di RS Bethesda. Sebelumnya, “Selama 5 tahun saya diminta menyebarluaskan pengobatan tradisional sebagai bentuk program rumah sakit tanpa dinding dan pelayanan kesehatan pedesaan,” tutur penghobi mancing laut ini.
Itulah R.Broto Sudibyo Bsc , yang sejak umur 10 tahun belajar tanaman obat, baru kemudian mengenyam pendidikan kesehatan ala barat. R.Broto Sudibyo di lahirkan di Yogyakarta pada tanggal 31 agustus 1920.Beliau menyelesaikan pendidikan dasar di H.I.SYogyakarta pada tahun 1934. Kemudian melanjutkan di Verpleger School (Sekolah Perawat) di Central by Zieken Zorg (Simpang Surabaya) dan lulus tahun 1939.
Pada tahun 1941 beliau magang kerja di pabrik farmasi J Van Gorkom, selanjutnya beliau melanjutkan studi kembali di Izi HookooKai tentang obat tradisional dan lulus pada tahun 1944.Lalu pada tahun 1955 beliau mendapatkan gelar sarjana muda di Sekolah Tinggi Ilmu Perawat.
Pengetahuan tanaman obat yang luas dan kemampuan meracik obat tradisional diperoleh di luar bangku sekoah. Yang pertama kali memperkenalkan tanaman obat kepada Broto kecil adalah sang kakek. Mungkin bagai air cucuran atap yang akhirnya jatuh ke pelimbahan juga, Rio Mangkuhusodo, begitu nama sang kakek, dikenal sebagai ahli pengobat tradisional di Keraton Yogyakarta.
Kenangan yang selalu terpatri di benak Broto adalah , “Kalau pergi ke makam raja-raja di Imogiri, eyang mengajak saya mengitari makam itu. Di sekelilingnya waktu itu memang banyak tanaman obat. ’Ini lo yang namanya sambiloto, itu lo kejibeling’,” kata ayah 11 anak itu meniru ucapan sang kakek. Selain itu RioMangkuhusodo juga mengajarkan cara meramu obat tradisional.
Pengetahuan itu lebih terasa manfaatnya ketika ia di tempatkan di rumah sakit di Samarinda selesai menamatkan sekolah perawat Verpleger school di Surabaya pada tahun 1940. Ketika itu obat-obatan sulit diperoleh. Sementara beragam penyakit mewabah seperti malaria, disentri, dan kaki gajah. “Kalimantan kan banyak menyimpan tanaman obat dan saya gunakan untuk mengatasi kelangkaan obat modern,” ujarnya. Pemimpin rumah sakit waktu itu dr Avecelamand malah memberikan simpati terhadap langkah broto.
Rasa simpati itu antara lain diwujudkan dengan memberikan berbagai buku tanaman obat. Buku-buku itulah yang dibaca dan dipelajarinya. Dokter asal Belanda itu terus mengasah wawasan Broto dengan memberikan ” ujian lisan”. “Setiap setengah bulan saya dievaluasi. Betul nggak menyebut nama latin, kandungan, manfaat, dan ciri-ciri tanaman,” kata kakek 18 cucu itu. Bahkan pada 1941 dokter itu membawa Broto ke Belanda untuk memperdalam tanaman obat. Selama 3 bulan di negeri kincir angin itu, ia banyak berdiskusi dengan pakar botani tanaman obat.
Broto seolah ditakdirkan untuk mempelajri obat tradisional. Pada jaman penjajahan Jepang, pemimpin RS Samarinda dr Hirano menawarkan kepada pehobi jalan kaki itu untuk belajar pengobatan tradisonal di singapura. Hirano mempunyai rekan dokter yang juga sinshe di negeri jiran itu. Selama Sebulan Broto yang kala itu hampir berusia 24 tahun memperdalam tanaman obat. “Ketertarikan saya terhadap obat tradisional semakin berkembang,” tuturnya.
Wawasan soal tanaman obat terus terasah setelah ia menikahi Helena. Sebab, kakek istrinya itu ternyata seorang sinshe. Broto tak menyia-nyiakan kedekatannya dengan kakek barunya. Ia terus menimba pengetahuan. Pada 1950-an Broto yantg mantan tentara itu pindah ke RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Melihat sepak terjang Broto dipengobatan tradisional, dr Leimena-menteri kesehatan waktu itu-kepincut. Ia meminta Broto bergabung dengan Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan.
Alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Perawat itu kembali bertugas di Samarinda hingga pensiun pada 1976. Pensiun bukan berarti berdiam diri. Ia masih aktif mengajar akupuntur dan tanaman obat di RS Bethesda, RS Elizabeth, serta Lembaga Meditasi dan Ilmu Prana. Disamping itu beberapa tahun beliau aktif mengasuh rubrik Obat Tradisional di Majalah TRUBUS.
Masyarakat yang berharap sembuh dari sakit juga terus dilayaninya dengan memberikan resep-resep tanaman obat. Namun Broto Sudibyo tak lupa berenang di pantai untuk mempertahankan kesegaran tubuh. “Ini anugrah Tuhan,” tuturnya lebih lanjut.
Admin rumah obat tradisioanl memiliki kesan yang mendalam terhadap Eyang Broto. Resep obat tradisional yang ditulis beliau mudah dimengerti dan dipraktekan dan hasilnya memang luar biasa. Pengalaman selama menggunakan obat tradisional baik untuk diri sendiri maupun untuk seluruh anggota keluarga dengan menggunakan resep dari Eyang Broto mendatangkan hasil kesembuhan yang menambah keyakinan akan keampuhan pengobatan tradisional.
Resep obat tradisional Eyang Broto, admin peroleh dari koleksi majalah trubus di rubrik pengobatan tradisioanal yang di asuh oleh Eyang Broto Sudibyo antara tahun 2000-2002.
Selain itu Eyang Broto Sudibyo meninggalkan karya buku yang beliau tulis sendiri, antara lain:
- - Buku Pedoman Pengobatan Tradisional Terpadu
- - Ramuan Obat Tradisional (Jlid 1 dan 2)
- - Pemanfaatan Pekarangan Dengan Tanaman Obat dan Gizi
- - Ilmu Penyakit dan Pengobatannya dengan Jamu
- - Buku Pedoman Kader Kesehatan Desa
- - Pembudidayaan Tanaman Empon-emponan
Demikian sekelumit perjalanan hidup sang ahli pengobatan tradisioanal Broto Sudibyo yang mengalami hidup di penjajahan belanda, jepang dan di masa setelah Indonesia merdeka, sehingga admin berpendapat beliau hidup di 3 jaman yang berbeda, Jika penulisan judul kurang pas mohon dimaafkan.
Dan jika Anda memerlukan obat tradisional, obat herbal alami bisa berkunjung ke Toko Herbal Keraton di sini.
Terimakasih kepada: TRUBUS 382/sept 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar